//vakansi vol. II// menyinggahi kampung sasak sade lombok

Bambang Irawan
4 min readMar 4, 2018

--

Semoga Lombok terlalu agung untuk sekadar memuja Gili Trawangan. Begitulah yang gue pikirin saat nyadar vakansi ke Lombok kali ini terhadang cuaca buruk sehingga rencana ke Gili terpaksa diurungkan. Sebagai gantinya, gue dan temen-temen pegawai ‘diperbantukan’ ganti tujuan ke arah Lombok Timur dan Tengah, yang mana sama sekali asing bagi kami bertujuh. Tapi sejujurnya menjelajah tempat wisata perawan seperti ke Gili Bedil dan Tropical Beach kemarin udah jadi semacam candu sih bagi kami.

Singkatnya, kami mulai nyari-nyari destinasi di kedua daerah tersebut, dan dapet seenggaknya tiga tujuan yaitu Kuta Lombok, Bukit Merese, dan Kampung Sasak.

Kami berangkat Jumat dinihari dari Sumbawa Besar, dan sampe di Lombok sekitar jam 7 paginya. Setelah menginjak bukit Merese dan Kuta, kami baru memulai perjalanan ke Kampung Sasak hari minggunya. Butuh waktu sekitar satu jam dari pantai tanjung Aan untuk sampe di Sade itu.

Sesampenya di papan selamat datang di kampung Sade, seorang mas-mas umur 20-an akhir yang sepertinya adalah penduduk asli sana menghampiri kami dan mengajak kami masuk ‘Kampungnya di seberang jalan, mas. Yuk saya antarkan’, imbuhnya.

foto paling atas hasil googling, sisanya dokumentasi pribadi, hehe.

Setelah masuk ke kampungnya, si mas-mas itupun mulai menjelaskan tentang asal usul kampungnya dan sejarah singkat tentang suku sasak. Yang gue tangkep dari pembicaraan doi sih intinya penduduk sana tuh sangat memegang erat keaslian adat istiadatnya termasuk keaslian ‘rasnya’. Bahkan dalam urusan untuk melestarikan keturunan aja mereka hanya menerima sesama mereka saja. Kalau calonnya merupakan non-Sasak, ada syarat tertentu yang harus dipenuhi. Budaya menikah dengan sesama suku yang masih punya hubungan kekerabatan ini kalo ga salah namanya Merariq. Oiya, ada satu poin menarik yang gue catat saat doi menjelaskan tentang adat menikah-dinikahi di suku Sasak ini. Jadi sistem yang digunakan di Merariq ini adah sistem ‘kawin lari’, dimana si perempuan yang dicintai disembunyikan oleh si lelaki selama beberapa hari hingga keluarga perempuan menyetujui pernikahan mereka. Si perempuannya sendiri tidak punya kuasa untuk menolaknya karena yang sepenuhnya terlibat dalam persetujuan nikah apa enggaknya mereka adalah si laki-laki dan keluarga perempuannya. Sangat menarik kan? Dan dilihat secara sepintas sebenarnya ini menyalahi KUHP tentang tindak pidana kawin lari. Tapi yaa namanya kan hukum adat kan ya, apalagi pemerintah setempat sudah menetapkan kampung Sade ini sebagai kampung adat, sehingga mereka punya otoritas khusus untuk mengurus segala hajatnya sendiri tanpa campur tangan pihak luar.

Selain itu doi juga bilang rumah-rumah penduduk yang dibangun itu lantainya gak dicor, melainkan dibikin dari tanah asli dengan campuran kotoran hewan. Agak horor sih, memang. Cuma pas gue dan teman-teman diajak masuk ke salah satu rumah, ternyata gak ada tuh sensasi menjijikkan yang gue bayangin sebelumnya. Malah hawa rumah jadi sejuk sejuk gimana gitu, di tengah udara Lombok yang kering kerontang minggu siang itu. Memang begitulah ternyata fungsi kotoran itu. Jadi lantai itu akan memberi sensasi hangat saat cuaca sedang dingin, dan sebaliknya akan memberi kesejukan saat udara terik seperti kemarin. Canggih juga ya.

Sembari mas-mas itu menjelaskan, dia memimpin perjalanan kami menyusuri sudut-sudut kampung Sade, yang terdiri dari sekitar 170 bangunan dan 700 anggota keluarga. Mata pencaharian utama masyarakat Sade adalah petani untuk laki-laki dan pengrajin untuk perempuan. Dengan hasil sawah itulah mereka mencukupi kebutuhan pangan mereka sehari-hari. Dan dengan hasil kerajinan yang dijual kaum perempuannya seperti kain, tas lombok dan lainnya mereka mencukupi kebutuhan di luar pangan.

menenun.

Setelah satu jam memutari kampung Sade dinaungi oleh langit Lombok yang merekah panas, kami mengakhiri perjalanan dengan membeli pernak pernik yang dihasilkan masyarakat sono. Gue sendiri beli tas lombok yang berharga 70 ribu dimana saat itu penjual buka harga di 100 ribu. Sebenarnya gue bisa lebih kejam dengan menawar di harga taksiran sebesar 50 ribu cuma lagi males nego aja.

Begitulah perjalanan kami di Lombok kali ini. Semoga penempatan definitif disini deh, terlalu banyak mutiara terpendam yang belum kami singgahi, sampai jumpa lagi, Lombok.

--

--

Bambang Irawan
Bambang Irawan

Written by Bambang Irawan

what is lost shall never be found.

No responses yet