“Sindrom Kursi Belakang” – Menapaki Manis Getir kota Tapaktuan

Bambang Irawan
3 min readAug 17, 2023

--

Pada akhirnya, semua perjalanan lagi-lagi pada hakikatnya bermuara kepada rumah, baik “rumah” secara harfiah maupun kiasan.

Kota, sebagai tempat bernaung berjuta jenis manusia dan makhluk lain yang mengais hidup di dalamnya, selalu menyimpan tumpukan kenangan yang kekal dalam memori. Kota dengan segala hiruk pikuk dan manis pahitnya, merupakan tema yang seksi untuk dibahas dalam berbagai bentuk karya sastra sepanjang sejarah peradaban manusia.

Sejak dahulu kala, banyak sastrawan yang diidentifikasi dengan karyanya tentang kota-kota megah zaman kuno seperti Roma, atau kota-kota legendaris di peradaban Islam seperti Baghdad atau Cordoba. Sementara di masa sekarang orang-orang banyak mengenang semua memori tentang kota lewat lagu. Beberapa contohnya di Indonesia yaitu dari musisi arus pinggir seperti Adhitia Sofyan yang menggubah lagu tentang Yogyakarta di “Sesuatu di Yogya”, band Silampukau membahas lika-liku Surabaya di album “Dosa, Kota, dan Kenangan”, atau band Mocca yang meromantisasi kota Bandung dengan lagu berjudul sama.

Selain musik, beberapa waktu ini saya juga sering membaca tulisan dan buku mengenai ungkapan personal seseorang terhadap kota. Buku/kolom yang saya baca kebanyakan adalah kesan penulis terhadap kota-kota besar di Jawa, lagi-lagi Bandung dan Jogjakarta menjadi kota yang kerap jadi pijakan mereka untuk menulis.

Dari sederet kota besar di Indonesia yang tercatat abadi dalam benak memori orang-orang tersebut, siapa sih yang pernah membaca karya tulis tentang kota Tapaktuan? Maaf, saya ulangi pertanyaannya. Siapa, sih, yang pernah mendengar kota Tapaktuan?

Saya berani jamin minimal 80% pembaca di sini tidak pernah mendengar ada kota di Indonesia bernama Tapaktuan (dengan asumsi 20% pembaca tulisan ini adalah orang asli Aceh). Tapaktuan, sebuah kota di ujung selatan Aceh dan segala keterasingannya, membuatnya mustahil untuk dituliskan kisahnya dengan baik oleh penulis manapun.

Namun, ada seorang penulis yang ternyata berani menuangkan kisah perjalanannya di Tapaktuan dalam sebuah buku. Ya, orang itu bernama Pak Riza Almanfaluthi lewat rilisan bukunya yang teranyar berjudul “Sindrom Kursi Belakang”. Lewat pengalaman dan kecakapannya dalam menyusun untaian kata dengan hangat, buku ini berhasil membuat Tapaktuan menjadi kota yang dekat di hati pembaca.

Kumpulan bab di buku ini mengisahkan Pak Riza ketika pertama kali mendapatkan pengumuman penempatan kantor di Tapaktuan, lalu beradaptasi dengan sunyinya Tapaktuan, serta menikmati hari-demi hari di sananya.

Dalam melukiskan pengembaraannya di buku ini, setidaknya Pak Riza berkisah dalam tiga sudut pandang; seorang wisatawan yang melakukan perjalanan liburan ke Tapaktuan, seorang ASN yang menunaikan tugasnya nun jauh di kota terasing, dan seorang ayah yang meninggalkan istri dan anak demi tugas negara.

Ketiga sudut pandang itu berhasil ditulis sedekat mungkin dengan keseharian sehingga membuat pembaca selain peduli dengan kota Tapaktuan, juga peduli dengan kisah tokoh utama yang berada di dalamnya, yaitu Pak Riza sendiri.

Tidak hanya kisah pribadi Pak Riza, di antara bab-babnya, beliau dengan mulus menyelipkan kisah-kisah ketokohan yang menggugah seperti sejarah Sultan Iskandar Muda, seorang pemimpin kesultanan Aceh di masa jayanya, yang menghukum rajam adiknya tanpa rasa sungkan karena telah melanggar hukum syariat Islam, hingga cerita tentang sejarah kelam awal mula ditemukannya kopi Aceh yang sangat terkenal.

Sebagai seseorang yang juga sedang menunaikan tugas negara di Aceh persis seperti yang diceritakan Pak Riza, hanya beda kota dan jabatan, saya pribadi bisa terkoneksi dengan baik dengan kisah-kisah pengembaraan beliau di buku ini. Tidak hanya memberikan makna tentang Tapaktuan baginya, beliau juga memberikan kehangatan hubungan antara seorang ayah dengan istri dan anak-anaknya meskipun terpisahkan jarak ribuan kilometer antara Tapaktuan dan Citayam, Bogor.

Kisah tentang mengembara jauh dari keluarga ini mengingatkan pada salah satu lagu favorit saya “Ini Abadi” oleh Perunggu. Lagu yang mengisahkan tentang hubungan jarak jauh antara suami istri yang mau tak mau harus dilakukan, karena memang itulah jalan hidup yang sudah sepakat ditempuh bersama, meskipun dalam perjalanannya tak lepas dari “sambat”.

Buku “Sindrom Kursi Belakang” ini rasa-rasanya Pak Riza persembahkan kepada semua kepala keluarga, atau siapapun yang menanggung nasib keluarganya, yang sedang merantau nun jauh di negeri seberang, atau mungkin hanya sekedar beda pulau dan kota, untuk mencari secercah nafkah atau pun sejumput harapan demi menyambung hidup keluarganya, meskipun cuma bisa pulang maksimal seminggu sekali.

Pak Riza, dengan tiap kisah yang mengalir ditulis di tiap bab dan etapenya, membawa kita seakan turut serta menyusuri jalan-jalan, pantai, gunung dan lembah di Tapaktuan. Dan seperti di tiap akhir perjalanan dalam bentuk apapun, buku ini memberi pesan bahwa pada akhirnya semua perjalanan lagi-lagi pada hakikatnya bermuara pada rumah, baik “rumah” secara harfiah maupun kiasan, seperti orang tersayang yang sudah menunggu kedatangan kita.

--

--

Bambang Irawan

review music once a year at @suakasuara | taking moments with film camera at birdlane.id | talking nonsense about american football at @4thandshortshow