Semakin Banyak Membaca Semakin Sadar Bahwa Saya Tidak Tahu Apa-apa.

Bambang Irawan
3 min readJun 30, 2019

--

Namun ketika bersinggungan tentang agama, saya tidak tahu apakah metode membandingkan berbagai macam sudut pandang itu efektif apa tidak.

Beberapa kali saya pernah berkata ke kedua orang tua saya bahwa saya memiliki kekhawatiran yang tidak wajar terhadap pendalaman ilmu agama. Hal itu terjadi mulai dari ketika saya memasuki ekskul keagamaan di sekolah menengah atas sampai sekarang. Sejauh ini saya memilih dua cara untuk mendalami agama, yaitu lewat guru mengaji dan terutama lewat bahan bacaan buku. Dalam beberapa kali kesempatan mendalami agama, pengalaman yang saya alami rata-rata tidak menyenangkan. Di banyak kasus, semakin dalam saya menyelami buku-buku tersebut, semakin tenggelam saya dalam pengetahuan yang tak bermuara dan pada akhirnya menyadarkan saya bahwa saya perlu sangat berhati-hati dalam menentukan sumber sebelum memulai kembali mendalami agama.

Sampai suatu ketika saya sedang berselancar di situs jual buku independen Berdikaribook dan menemukan beberapa buku diskursus menarik tentang Islam. Karena jiwa keingintahuan saya tiba-tiba meronta(plus jiwa boros), akhirnya saya memborong semuanya. Singkat cerita, tempo hari saya baru saja menyelesaikan salah satu dari buku-buku tersebut, yakni “Benturan Monoteisme. Asal-Usul, Evolusi, dan Masa Depan Islam” karya Reza Aslan. Beliau adalah muslim asli Amerika yang juga merupakan sejarawan agama tersohor. Buku ini dibuat untuk meluruskan persepsi masyarakat Amerika pada umumnya tentang Islam pasca 9/11. Alasan saya membeli buku ini sebenarnya tak lebih dari menyelami perspektif yang berbeda dari seorang penulis yang dilahirkan dari jantung peradaban Barat. Karena selama ini saya mempelajari sejarah Islam sebatas dari penulis-penulis lokal atau Timur Tengah.

Dan hasilnya memang sesuai prediksi. Beberapa statement di buku ini tidak pernah saya baca di tempat lain. Seperti contohnya Nabi Muhammad tidak pernah benar-benar lahir di tahun 571 M, bertentangan dengan apa yang buku-buku sejarah dan buku-buku agama ajarkan ke kita. Selain itu beliau juga membahas soal bagaimana dakwah Nabi Muhammad bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat jazirah Arab pada umumnya dan Mekkah-Madinah khususnya hingga melahirkan konstitusi tertulis pertama di dunia yaitu Piagam Madinah. Lalu bergulir ke sistem pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang merupakan cikal bakal monarki selama belasan abad kedepan. Beliau mengkritisi otoritas ulama yang berlebih dalam sistem pemerintahan bercorak Islam dari era Kekhalifahan hingga Republik Islam ala Khomeini di Iran. Argumen-argumen yang Reza Aslan lempar disertai dengan fakta-fakta serta buku-buku yang ditulis dari ulama dan cendekiawan terkenal di dunia Islam. Pada akhirnya Reza berkesimpulan Islam seharusnya ber progress sesuai dengan perkembangan zaman agar bisa mengembalikan status Islam sebagai jantung peradaban dunia. Itulah mengapa dia tidak setuju sama sekali terhadap arus perkembangan kaum puritan Wahabisme belakangan ini.

Sepanjang yang saya baca diatas saya masih mengerti dan setuju terhadap paparan Reza Aslan tersebut. Namun ketika tiba di topik bahasan soal sekte keagamaan di Islam yaitu Syi’ah dan Sufisme barulah kekhawatiran saya yang dipaparkan di paragraf pertama terbukti. Reza Aslan memilih mengambil sudut pandang netral terkait bahasan soal kedua sekte tersebut. Padahal informasi-informasi yang saya peroleh tentang kedua sekte itu dari pelbagai buku dan artikel cenderung bias dan pola pikir saya sudah terbentuk sejak awal untuk mempercayai informasi-informasi bias tentang komunitas Syi’ah dan Sufisme tersebut. Sudut pandang Reza di buku itu jelas membuat saya kembali bingung, ‘Loh, saya kira begini awalnya, kok malah begitu’. Begitu saja terus.

Itu menjadi pelajaran berharga bagi saya sebelum kembali mendalami agama. Saya pernah membaca kata-kata mutiara di suatu buku. Intinya otak yang akan digunakan untuk menerima ilmu baru itu diibaratkan seperti gelas yang akan digunakan untuk mengisi air minum. Untuk mendapatkan kapasitas yang maksimal, gelas itu harus dalam keadaan kosong melompong. Begitupun otak. Mempelajari suatu hal dari berbagai macam perspektif itu sangat seru. Seperti menyoal hubungan antar individu yang tidak akan pernah ada habisnya. Namun ketika bersinggungan tentang agama, saya tidak tahu apakah metode membandingkan berbagai macam sudut pandang itu efektif apa tidak. Apalagi untuk golongan awam seperti saya dan mungkin teman-teman yang membaca ini(kalau ada). Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan tanda tanya, dan saya serahkan jawabannya kepada teman-teman. Kalau kata idola remaja masa kini Baskara Putra, seni itu menghasilkan tanda tanya, bukan jawaban. Toh tulisan ini murni curhatan, bukan karya ilmiah, ya kan?

--

--

Bambang Irawan
Bambang Irawan

Written by Bambang Irawan

what is lost shall never be found.

No responses yet