Meuteumong Lom, Langsa

Bambang Irawan
5 min readOct 6, 2021

--

Langsa, lengang.

Hana Bayeue

“Hana Bayeue”, yang artinya adalah “tidak bayar” dalam bahasa Indonesia. Dua patah kata atau lebih tepat disebut dengan tagline ini terpampang angkuh di banner di halaman parkir kantor, merujuk pada program insentif COVID-19 yang pemerintah berikan untuk melindungi pelaku industri UMKM agar dapat bertahan hidup di tengah pandemi yang mencekik hajat masyarakat luas. Tagline itu adalah kata-kata pertama dalam bahasa Aceh yang melekat di kepala saya, selain karena banner itu adalah hal yang saya temui setiap hari kala menjalani rutinitas ngantor, kata-kata itu pun menjadi objek penghinaan diri sendiri alias self-deprecation jokes buat saya karena sampai beberapa tahun penempatan kerja di sini, saya nyaris tidak hafal satupun kata-kata dalam bahasa Aceh kecuali “Hana Bayeue” dan beberapa kata lainnya. Jika anda membaca judul tulisan ini dan tidak paham apa itu, itu artinya sampai bertemu kembali dalam penulisan Bahasa Aceh — yang barusan sekali saya tanyakan langsung ke senior saya di mobil saat sedang melakukan kunjungan kerja di pedalaman Aceh Utara.

Mi Balap

Aroma wajan yang senantiasa terbakar oleh api meletup-letup yang bercampur dengan aroma racikan handal tangan-tangan ibu perkasa menyeruak dari kedai yang bernama Warung 88 itu. Berlokasi di Jalan Iskandar Muda, kedai ini merupakan salah satu tempat sarapan favorit saya bersama teman-teman kantor dari awal saya berada di Langsa hingga sekarang. Daerah ini memang pusatnya pemukiman daerah keturunan orang Tionghoa. Orang-orangnya ramah sekali, dan yang biasa masak adalah ibu-ibu keturunan Tionghoa yang bermukim di sini. Dia tak pernah absen menanyakan saya jika saya absen lama sarapan di situ, “Dek, ke mana aja kok lama gak ke sini?” Begitulah biasanya percakapan kita berdua sehari-harinya. Atau kalau tidak menyapa dengan itu biasanya dia menyapa dengan menu-menu andalan saya ketika di sana. “Pesen apa? Kwetiaw goreng telor?” “Nasi goreng telor orek?”. Saya pun langsung mengiyakan, dan langsung mencari bangku kosong untuk duduk. Lalu tak lama kemudian hidangan sampai di meja saya, yang lalu saya serbu dengan dengus kelaparan. Setiap hari saya melakukan itu, namun tak ada kesempatan untuk berbincang tipis dengan penjual, karena dia selalu sibuk melayani antrian pengunjung yang mengular sampai trotoar.

Betul, saya hobi jajan. Namun sejak kecil saya kesulitan menekuni hobi tersebut dikarenakan uang jajan yang saya terima dari orang tua selalu terbatas. Namun beranjak bertambahnya umur, hobi jajanku perlahan mulai menemukan titik terang, dan sejak kuliah dan tidak tinggal lagi bersama orang tua barulah saya bisa leluasa memenuhi hasrat jajan itu. Hingga akhirnya saya ditempatkan di kota ini. Banyak sekali pedagang kaki lima yang jadinya saya akrabi, selain ibu-ibu di warung 88 di atas, ada tukang rujak, nasi goreng, mi balap medan, nasi gurih, lontong kari, pecel sayur. Semuanya mengenal saya dan jika saya beberapa hari saja tak singgah di kedai mereka pasti mereka akan menanyakan kabar saya di kunjungan saya selanjutnya, “ke mana bang kok gapernah ke sini lagi”, “rek kamana atuh kasep”. Dan begitu terus hampir di setiap tempat makan yang kukunjungi. Saya tidak masalah, bahkan saya senang jika ditanya seperti itu. Saya merasa kehangatan yang berbeda di tiap tempat makan serta penjual yang sangat ramah, saya merasa berada di rumah sendiri. Padahal saya selalu dikenal sebagai orang jawa asli, atau setidaknya bukan orang aceh ketika saya memulai pembicaraan dengan mereka. “Abangnya dari mana? Pasti dari Jawa ya?” Dan ketika saya menyebutkan asal daerah saya, mereka jadinya lebih ramah dalam melayani saya, dan kita biasanya berbincang hangat setelah itu, seakan-akan saya begitu spesial untuk diajak berbincang lama bersama mereka. Tentu saja, saya merasa spesial ketika diperlakukan seperti itu.

Bentor

Bang Rahmat namanya, adalah tukang becak motor atau istilah populernya di sini “bentor”. Dia tinggal di rumah yang bertetanggaan dengan kontrakan saya. Tiap kali saya bersepeda pergi ke kantor atau pulangnya, saya selalu melihat bang Rahmat mangkal di tetangga rumah kontrakan. Saya jadi mulai sering menyapa dia tiap kali berpapasan. Beberapa hari kemudian, Langsa mulai sering turun hujan, yang tentu saja saya jadi tak bisa bersepeda ke kantor. Saya memanggil dia yang sedang meneduh di atap rumah seberang rumahku, dengan motor besar dia dan becak yang tersambung di motornya. Beberapa kali dia menolong saya ketika kesulitan berangkat ke kantor, atau kalau misalnya saya malas membawa sepeda, dia siap dengan one call away. Pernah sekali juga sepeda saya tiba-tiba rusak dan saya sibuk mencoba berbagai macam cara memperbaiki sepeda itu di depan rumah, Bang Rahmat tiba-tiba menyambangi lalu menawarkan bantuannya, yang dalam waktu singkat langsung beres. Waktu itu saya langsung berterima kasih sebesar-besarnya ke dia, sembari memikirkan bagaimana jadinya saya yang dungu sekali soal masalah perkakas dan permesinan ini tanpa uluran tangan orang-orang seperti dia. Saya masih beruntung masih bisa berpamitan dengan dia sebelum saya pindah ke kantor yang sekarang ini.

Basecamp

Posisinya tidak terlalu jauh dari kantor, sehingga bisa jalan kaki untuk sampai ke sana. David.Co namanya. Kafe ini selalu menjadi basecamp anak-anak kantor atau istilahnya tongkrongan barudak. Biasanya tiap pukul lima sore, diawali dengan aba-aba ‘“Ada?!!” di grup WhatsApp yang biasa diawali dedengkot tongkrongan yang bernama Gery atau Inggit, lalu minimal ada dua sampe tiga orang yang menanggapi, pasti tiap sore itu kami bergegas ke David.Co untuk ngopi-ngopi sore hingga lantunan azan magrib berlalu. Apa yang saya suka dari David.Co ini adalah menu indomie gorengnya yang masih asri alias belum terganggu oleh gangguan bumbu aceh yang umum terjadi di setiap indomie bikinan warkop di seluruh penjuru Aceh. Bagi saya yang sudah tiga tahun lebih di Aceh, muak rasanya ketika sedang ingin menikmati sensasi indomie yang khas dan original, namun ternyata ketika disajikan setelah menunggu lumayan lama, ada aroma khas yang menyeruak, sesuatu yang familiar di hidung saya dan orang-orang yang sudah lama di Aceh; ya itulah aroma bumbu aceh. Namun jika mencoba langsung menu mi aceh langsung di sini, tentu saja Anda saya jamin tak akan menyesal seumur hidup. Rasanya jauh lebih baik dari sensasi Indomie goreng rasa Mie Aceh yang rasanya artifisial. Wajib seumur hidup datang sekali ke sini.

Sampai hari ini, saya tidak punya lagi pembendaharaan kata dalam bahasa Aceh yang lebih jauh daripada seputaran kata “Ha na” atau “Jeut”. Namun, ingatan saya terhadap kebaikan orang-orang sini termasuk rekan-rekan kantor kepada saya tak terhitung banyaknya dan akan terus bersemayam tenang di pikiran saya sampai kelak menjejak usia senja nanti. Semua hal di atas adalah alasan saya tetap bertahan dan tidak berlarut dalam kesedihan karena terpisah ribuan kilometer dari orang-orang terdekat di Bandung sana. Saya benci jarak, semua dari kita pasti benci dengannya. Namun mengapresiasi orang-orang yang pernah hadir dalam hidup kita untuk mengisi ruang-ruang redup dalam perihnya jarak itu rasa-rasanya tidak ada ruginya untuk dilakukan.

P.S. buat teman-teman satu angkatan di Langsa; Bai, Salman, Dea, Raja, Puan, Oji, Debby, Mila, Jeki, Udin; kalo kalian baca ini satu pesanku, aku kangen kalian.

--

--

Bambang Irawan

review music once a year at @suakasuara | taking moments with film camera at birdlane.id | talking nonsense about american football at @4thandshortshow