Saija, Remuk.
Jakarta, akhir 2016.
Dalam keheningan canggung yang tercipta antara saya dan supir ojol di detik demi detik perjalanan melewati asap polusi dan keriuhan metropolitan, hinggaplah saya di sebuah bar terpencil di sudut bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Saya hadir di sebuah acara gigs gratis yang disponsori sebuah perusahaan rokok di Sabtu sore yang sedang mendung kelabu saat itu. Penampil utama pada malam itu kebetulan baru saja merilis album keduanya beberapa waktu yang lalu. Ya, jika Anda mengenali judul tulisan yang saya buat ini pasti akan paham. Mereka adalah musisi dari kota Bekasi bernama The Trees And The Wild dengan album keduanya Zaman, Zaman. Pada saat itu saya masih seorang mahasiswa mentah dari Bintaro yang terpaksa menabung uang jajan selama dua minggu demi membeli sebuah cakram padat album Zaman, Zaman pada hari rilis perdana di toko Heyfolkshop di Radio Dalam.
Saat itu, bar lebih banyak dipenuhi orang-orang yang disibukkan dengan minuman dan obrolan selepas jam kerja. Di sisi lain saya hanya berdiri canggung sembari terpapar asap rokok serta aroma anggur merah yang pekat, bersama segelintir orang lainnya yang memang berniat datang hanya untuk menonton Remedy cs. Itu adalah pertama kalinya saya bersentuhan langsung dengan musik mereka, dan semenjak saat itu pandangan saya terhadap musisi lokal berubah sepenuhnya. Dari sejak gig kecil di Lebak Bulus itu, saya belajar untuk memahami bahwa menghargai karya musisi lokal dengan menghadiri gigs-gigs yang sudah disusun dengan produksi yang super rapi seperti halnya The Trees And The Wild (selanjutnya disingkat TTATW), adalah sama pentingnya dengan membeli rilisan fisik dari artis yang berkaitan. Penampilan TTATW di atas panggung yang dark, gloomy, dan misterius selaras dengan lagu-lagu yang dibawakan terutama dari album Zaman, Zaman. Dipadu dengan tata lighting dan panggung yang membuat masturbasi visual dan auditori bagi siapapun yang menyaksikannya, tak ada alasan bagi saya untuk melewatkan dakwah Remedy, Andra, Hertri, Tyo, dan Tami di atas panggung.
Lalu waktu berputar cepat ke tiga tahun kemudian. Segala sesuatunya sudah berubah sama sekali. Saya dan semua partner menonton TTATW di tahun-tahun terakhir kuliah sudah terpencar ke segala ujung nusantara, dalam rangka pengabdian kepada negara yang harus kami bayar dari suatu kontrak sakral yang sudah kami sepakati dan tandatangani sebelum kuliah. Di awal tahun ini, perhelatan Synchronize Fest yang acapkali disebut salah satu festival musik lokal terbaik di tanah air kembali dengan susunan penampil yang lebih marak lagi, termasuk tentunya TTATW di dalamnya. Saya sendiri yang sudah bertugas di Aceh selama hampir dua tahun terakhir ini memantapkan diri untuk hadir ke festival ini, sekaligus temu kangen dengan teman-teman lama dari berbagai daerah yang tentunya bakal datang kesini juga.
Singkat cerita, dua minggu yang lalu saya bertolak ke Jakarta kembali, di mana angan dan perih berembuk di langit kelam selama tiga tahun berkutat di sini. Saya akhirnya kembali bersua dengan salah satu teman sekaligus partner menonton saat kuliah dulu dari Kupang, nun jauh di timur. Tiket pesawat dia lima kali lipat lebih mahal dibanding tiket konsernya, dibanding saya yang tiga kali lipat. Namun sejujurnya hal-hal itu tidak menjadi halangan ketika liburan semakin sulit dicari, kesibukan yang kian membelenggu, dan sahabat lama yang berusaha meluangkan waktu dan tenaga untuk kita. Semuanya bisa disempatkan, jika memang prioritas.
Hari itu adalah hari ketiga festival, dan TTATW tampil di District Stage selepas magrib. Tanpa dinyana TTATW memulai helatan dengan “Berlin”, nomor andalan di Rasuk. Saya tak menyangka sama sekali bila TTATW akan menggeber seluruh setlist dengan album Rasuk sepenuhnya saat itu. Perihal tersebut, Remedy di saat tuning gitar bilang bahwa gigs kali ini merupakan perayaan untuk perilisan album Rasuk satu dekade lampau. Sebelum Remedy menyelesaikan kata-katanya, riuh tepuk tangan penonton membahana di udara. Lalu dilanjut “Honeymoon on Ice”, “Our Roots”, “Malino”, “Derau dan Kesalahan” dan ditutup dengan “Kata”, menjadi penutup laiknya di album Rasuk .
Setelah “Kata”, Remedy dkk pamit undur diri dan kru mulai membereskan alat-alat di panggung. Tiba-tiba, salah satu penonton di sebelah saya berteriak ke arah panggung sambil menunjuk-nunjuk Remedy cs dengan amarah, “Wey! Empati Tamako mana anjing! Gue udah nungguin dari tadi woy!” Saya dan teman saya yang saat itu sama-sama agak kecewa dengan akhir yang antiklimaks karena TTATW tidak memenuhi keinginan penonton untuk membawakan encore selepas set yang pendek hanya tertawa saja menyaksikan hal itu. Memang tuning untuk membawakan Rasuk sangat menguras durasi, Remedy pun mengakui hal itu di tengah penampilan. Alasan lainnya, karena mungkin sebagian penonton masih tidak menyangka mereka bakal membawakan Rasuk tanpa satu pun Zaman, Zaman di dalamnya. Tidak lupa pula ditutup dengan sebuah bait nostalgia,
“Hitung nafas, yang kelak berat..”
Meskipun begitu standar penampilan TTATW yang selalu di atas rata-rata semenjak pertama kali saya menonton di Lebak Bulus dahulu hingga kali ini tetaplah mengagumkan. Dan karena itulah mereka tetap dan akan selamanya menjadi musisi lokal terfavorit saya untuk disaksikan. Peduli setan perihal antiklimaks jika sudah cinta. Esok harinya saya pulang ke Aceh dengan perasaan bahagia yang bercampur aduk. Betapa cintanya saya terhadap TTATW dan pemilihan kosakata di semua liriknya hingga saya mengganti username di salah satu kanal media sosial saya dengan lagu favorit saya di Zaman, Zaman yang diambil dari nama tokoh fiktif di novel karangan Multatuli. ”Kau kan sakit dan pergi, tanpa waktu yang pasti. Selamanya. Selamanya.”, sebuah penutup yang terindah yang pernah diciptakan untuk sebuah album garansi klasik yang bahkan tidak tersedia di layanan streaming manapun. Panjang umur perjalanan, TTATW. Tertanda, Saija.