Merayakan (Hampir) Satu Dekade Axis Mundi-nya Polka Wars

Bambang Irawan
9 min readJan 28, 2024

--

Sumber gambar: Whiteboard Journal

Ada tiga momen penting dalam hidup yang membuat saya senantiasa kembali mendengarkan album ini di umurnya yang genap sembilan tahun memasuki 2024.

Pertama, ketika saya menyaksikan kuartet ini untuk pertama kalinya di Grand Kemang Hotel di Jakarta sebagai pembuka solois asal Thailand yang sedang merajai daftar putar Spotify kawula muda pada saat itu, Phum Viphurit, di Agustus tahun 2018. Yang masih saya ingat dengan jelas di penutup set band ini, Karaeng Adjie sang vokalis memainkan lagu yang belum pernah dirilis untuk pertama kalinya berjudul “Mandiri” secara solo dikawani gitarnya.

Pada saat itu, Karaeng mampu meluapkan emosinya di atas panggung secara lebih “telanjang”, dibandingkan lagu-lagu dari album perdana yang selalu bernuansa misterius dan kaku dalam membawakannya.

Sebagai lagu perdana berbahasa Indonesia pertama dengan lirik yang sama penuh metaforanya seperti album perdana, saya merekam full lagu ini, untuk bahan kenangan kelak. Satu tahun kemudian, “Mandiri” menjadi tunggalan utama untuk album kedua mereka berjudul Bani Bumi.

Keberhasilan menonton untuk pertama kali kuartet ini apalagi hasil nekat datang jauh-jauh dari Aceh membuat ekspresi kegembiraan saya tertangkap layar sebuah media musik pada saat itu. Berikut fotonya.

witnessing greatness (sumber: deathrockstar)

Kedua, di tahun 2019 saya menyelesaikan sebuah buku karya cendekiawan Amerika keturunan Iran bernama Reza Aslan berjudul “Benturan Monoteisme: Asal Usul, Evolusi, dan Masa Depan Islam”. Berawal dari keinginan untuk mempelajari Islam dari perspektif berbeda, saya menuntaskan buku ini dalam waktu singkat saja.

Di buku tersebut saya menemukan istilah “Axis Mundi” yang berarti “pusat dunia” oleh masyarakat Arab kuno. Axis Mundi merupakan istilah untuk menyebut Ka’bah, kiblat salat sekaligus bangunan paling suci umat Islam di kota Mekkah, sebagai titik episentrum alam semesta atau ruang suci yang berputar sebagai penghubung antara bumi dan langit, dan orang-orang yang sedang melakukan ibadah tawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali sebagai perwujudan pergerakan benda-benda langit mengelilingi matahari.

Setelah melewati bagian buku ini saya menceritakan ulang hal tersebut di Twitter sambil mention akun Polka Wars, yang di-retweet mereka berikut beberapa followers-nya.

Ketiga, saat pandemi COVID-19 mengadang di 2020, saya mulai rutin olahraga lari untuk mengisi waktu senggang yang berlebih akibat pemberlakuan PSBB. Kebutuhan untuk mencari lagu yang pas sebagai teman berlari membuat saya kembali jatuh ke pangkuan album ini. Pada saat itu persinggungan saya tentang album ini yang ketiga kalinya membuat saya merasa butuh untuk menumpahkan unek-unek pribadi terkait album ini ke utas Twitter. Namun karena inkonsistensi saya sendiri, utas itu akhirnya tidak saya lanjutkan. Begitupun dengan segudang unek-unek di kepala yang akhirnya menguap di udara, tak tertumpahkan.

Lalu sampailah di akhir tahun 2023, di mana aktivitas olahraga saya yang berganti jadi bersepeda membuat saya mulai rajin lagi membuat daftar putar Spotify, dan pada akhirnya kembali lagi saya jatuh di lubang yang sama. Laiknya rezeki yang tidak akan berpindah ke orang yang tidak berhak, sepertinya album ini memang ditakdirkan untuk saya tulis ulasannya secara komprehensif dalam bentuk tulisan panjang di sini.

Sejak pertama kali mendengar di tahun 2015 hingga detik ini masih diputar setiap sesi bersepeda di petang hari, Axis Mundi memberikan kesan yang konsisten di tiap putarannya; sebuah album yang rumit, kasar, nyaman, meresahkan, haru, pilu, indah, semua jadi satu merasuki daun telinga dengan merdu hasil ramuan bebunyian unik lewat berbagai instrumen non-konvensional yang diciptakan keempat personilnya, yang senantiasa memaksa saya selalu kembali mendengarkan album ini secara terus-menerus.

Di tiap putarannya, lagu favorit saya hampir selalu berganti. Dari favorit di pertama kali mulai rutin diputar yaitu “Mokele” dan “This Providence” lalu berganti ke “Moths and Flies” dan “Horse’s Hoover” dan sampai sekarang “Tall Stories” dan “Lovers”, saya haqqul yakin bisa berorasi dengan lantang bahwa Axis Mundi adalah salah satu album terbaik di Indonesia di dekade 2010-an karena satu alasan sederhana, semua lagunya bagus dan enak didengar (karena tidak semua yang bagus enak).

Dan album bagus menurut saya adalah yang maknanya selalu berbeda di setiap manusia dan setiap masanya. Dulu saya menganggap album ini bagus hanya dari sisi estetika, yaitu murni enak didengar. Namun seiring dengan waktu, saya akhirnya menyadari bahwa selain Axis Mundi dirangkai dengan apik hingga menjadi susunan estetika utuh, setiap liriknya pun ditulis dengan baik dengan berjuta metaforanya.

Dari kiri ke kanan; Deva, Karaeng, Xandega, Billy (sumber: Kompas.id)

Terkait penulisan lirik ini, personil Polka Wars bilang di suatu wawancara bahwa banyak lirik di album ini yang merupakan cerita personal masing-masing namun terlalu malu untuk diungkapkan, sehingga memakai banyak kiasan atau metafora berbahasa Inggris di liriknya.

Selain musiknya yang menjadi ((mimpi basah)) hipster milenial Indonesia — meminjam istilah Vice — , kompleksnya lirik dan metafora yang dibuat band yang dipertemukan di SMA Islam Al-Izhar Pondok Labu ini membuktikan teori lama saya yang terbukti berkali-kali sejak dulu namun tidak berani saya lontarkan di obrolan sehari-hari; lulusan sekolah islam biasanya lebih menonjol kecerdasannya dibanding lulusan sekolah lain, walaupun belum tentu jadi yang paling religius.

Lalu selaras dengan alasan kedua kenapa saya mendengarkan Axis Mundi di paragraf awal, Karaeng Adjie, sang frontman mengungkapkan di wawancara dengan CNNbahwa Axis Mundi adalah simbolisasi keseimbangan antara hubungan sesama manusia (hablum minannas) dan hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah).

Apapun itu makna di baliknya, Axis Mundi merupakan bagian dari gelombang musisi Nusantara yang merilis debut yang bagus di tahun 2015. Axis Mundi dirilis di tahun yang sama Barasuara merilis Taifun, Sigmun bertaji dengan Crimson Eyes, Stars And Rabbit menyeruak dengan Constellation, serta Elephant Kind menggeliat dengan double EP Scenarios dan Promenades. Tahun yang sempurna bagi orang yang baru memulai eksplorasi musik arus pinggir fresh lokal pada saat itu.

Album yang desain sampulnya dibuat oleh artis Kendra Ahimsa (Ardneks) ini berisi delapan nomor di aplikasi pemutar Spotify. Namun sebenarnya ada juga versi yang dirilis dalam bentuk cakram padat, memuat nomor kesembilan yaitu “Coraline” namun tidak masuk ke Spotify.

Mokele

Album ini dibuka oleh “Mokele” dengan bait-bait metafor yang seakan-akan mengisahkan tentang perenungan seseorang terhadap fenomena di sekitarnya dan pencarian terhadap makna hidup. Karaeng menyebutkan di sebuah wawancara bahwa Mokele dimaksudkan sebagai pertanyaan ke diri sendiri tentang seberapa besar iman Islam dalam dirinya. Karaeng mengibaratkan iman itu seperti monster Mokele, yang dari legenda rakyat yang mendiami lembah sungai Kongo, sebagai monster yang timbul tenggelam di sungai atau di kedalaman danau.

“Often, see you out there. Mokele Mbembe”.

Saking misteriusnya lagu ini terutama di bagian hook-nya yang terngiang-ngiang, saya selalu mengira ada makna lain di balik lagu ini yang hanya Allah dan personil Polka Wars yang tahu.

Saya mengamini apa yang dikatakan Teguh Wicaksono di kolom deskripsi Youtube Sounds From The Corner tentang Polka Wars, mereka merupakan pendatang baru yang paling menonjol orisinalitasnya. “Mokele” adalah pembuka album yang sempurna untuk menunjukkan karakter sesungguhnya Polka Wars dengan lirik penuh kiasan dan simbolisasi, intro gitar yang solid, chorus yang catchy tapi misterius, dan penggunaan instrumen non-konvensional seperti saxofon yang menambah keistimewaan album ini.

Alfonso

“Alfonso” adalah nomor yang paling sering saya lewatkan di Axis Mundi; sekaligus merupakan statement penting betapa menakjubkannya album ini. Sebelum melihat ke liriknya, lewat judulnya saya tahu bahwa Alfonso adalah sosok penjelajah Portugis sekaligus merupakan orang Eropa yang pertama kali sampai di Indonesia di abad ke-15 untuk menjelajah sumber rempah-rempah. Nomor ini dibawakan dengan megah oleh drummer Giovanni Rahmadeva (Deva) yang mengambil alih mic dari Karaeng, ditambah bebunyian unik seperti kecapi yang menambah kekayaan “Alfonso” yang cocok untuk jadi soundtrack film drama kolosal.

Moths and Flies

“Moths & Flies” saya nobatkan sebagai nomor paling seru di Axis Mundi, selain karena bagian chorusnya yang enak buat di-sing along, saya tidak akan pernah bilang tidak enak kepada lagu bertempo kencang yang melibatkan banyak instrumen saxofon di dalamnya. Beri tahu saya orang yang mendengarkan lagu ini namun tidak menggoyangkan kepalanya secara tidak sadar lalu menggumamkan hook-nya yang dibawakan Deva dengan lantang;

“Never die, never dream, never run free, the geze completely in shreds”

Horse’s Hooves

Nomor yang divisualisasikan secara sempurna oleh videoklipnya ini diawali dengan deburan ombak laut di pagi buta. Suara-suara air laut saling berlarian yang temaram, menenangkan, namun misterius ini seakan-akan kita hendak diangkut ke dunia lain, lalu dilanjutkan dengan intro yang sama misteriusnya, dilengkapi vokal Karaeng yang lirih dan dalam seperti kedalaman palung mariana, menjadikan nomor ini favorit saya.

“Horse’s Hooves” mengingatkan saya kepada sebuah buku yang menjadi favorit semasa kecil berjudul Kokology: The Game of Discovery. Kokology adalah cabang ilmu psikologi dari Jepang yang menganalisis kondisi psikis manusia lewat berbagai permainan. Di salah satu permainan di buku itu, saya ingat sebuah penjelasan tentang gambaran hubungan manusia terhadap laut. Di situ disebutkan bahwa manusia dan laut memiliki hubungan psikologis yang kuat. Diceritakan lagi bahwa berjalan-jalan di pinggir pantai dapat membawa manusia menenggelamkan dirinya sendiri untuk sejenak beranjak ke dunia lain karena laut memberi efek menenangkan yang kuat. “Horse’s Hooves” adalah epitome sempurna dari hubungan manusia dan laut tersebut.

Di “Horse’s Hooves”, Karaeng menggambarkan tentang keajaiban alam dalam segala metaforanya, mengiaskan bahwa manusia hanya perlu mengimani bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada manusia lewat berbagai ciptaan-Nya yang agung.

This Providence

Seperti “Moth and Flies”, nomor ini menjadi favorit saya ketika pertama kali mendengar album ini di samping “Mokele” karena temponya yang cepat dan lirik yang mudah dinyanyikan. Nomor yang dibawakan Herald L’Aplhalpha sebagai kolaborator ini merupakan nomor yang paling sedikit metaforanya dan vocabulary rumit dibanding nomor lainnya, karena itulah “This Providence” merupakan nomor Polka Wars yang paling easy listening.

Lover

Nomor ini adalah gacoannya Deva. Sama seperti nomor “Alfonso”, “Lover” ditulis langsung oleh beliau sekaligus mengambil alih posisi frontman dari Karaeng, berikut gitar dan karakter vokalnya yang unik seperti mendengarkan lagu-lagu tempo dulu. “Lover” merupakan nomor di Axis Mundi yang vocal performance-nya paling prima(maaf Karaeng). Nomor ballad ini mengisahkan tentang perjalanan pencarian terhadap suatu tujuan, sebuah makna yang hakiki dari cinta, dan Ketuhanan.

Tall Stories

Saya mengibaratkan nomor ini adalah kumpulan cerita-cerita inspiratif yang didapat dari supir ojol yang mengantar kita ke rumah selepas hari yang berat di kantor. Atau ketika membeli gorengan di penjual di pinggir jalan. Atau ngerumpi dengan barista warkop favorit. Pada akhirnya kisah-kisah terbaik yang bisa didapat dalam hidup adalah dari sumber yang tidak akan pernah kita tebak sebelumnya. “Tall Stories” juga membuat saya merapalkan “Count your blessing he said, Thank God.” berulang kali. Mari bersyukur sebanyak-banyaknya kepada Tuhan Sang Penguasa Alam.

Piano Song

Lagu penutup Axis Mundi sekaligus nomor terpanjang di sini. Terdiri dari dua bagian yang sempurna menutup album Axis Mundi. “Piano Song” adalah salah satu lagu yang paling awal dibuat Polka Wars sebelum Axis Mundi dibuat. Dengan durasi 14 menit lebih, Karaeng dan Deva membawakan bait demi bait tentang kepasrahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, lewat ketidakberdayaan manusia sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna sekaligus paling lemah. Lewat lagu ini kita diajak merenung bagaimana manusia itu sangat kecil dibandingkan dengan Tuhan Sang Pencipta.

Terlepas dari keseluruh delapan nomor yang coba saya interpretasikan maknanya, saya perlu membuat disclaimer bahwa ini adalah usaha keras saya sendiri untuk memaknai tiap lagu Polka Wars dengan liriknya yang sulit dimengerti orang yang berbahasa ibu bukan Inggris.

Namun kita perlu kembali ke aturan pertama karya seni bahwa album ini dengan liriknya yang penuh kiasan, tetaplah merupakan seni yang bebas diinterpretasikan siapapun, karena ketika sebuah karya dirilis untuk publik, maka sudah menjadi hak setiap orang yang mendengarkan untuk memilikinya dan memaknai sesuai keinginannya. Dan begitupun saya yang menuliskan ini.

Ketika Axis Mundi pertama kali dirilis, saya tidak punya cukup uang untuk mengoleksi kasetnya yang diproduksi terbatas, pun juga telat untuk mengetahui soal pertunjukan tunggal Axis Mundi di IFI Jakarta dan di IFI Bandung. Tapi saya harap saya bisa berkontribusi memperpanjang umur Axis Mundi dengan tetap membicarakannya dan memaknai ulang setiap lagunya di konteks tahun 2024 lewat tulisan ini, satu tahun sebelum sedekade perilisan album ini.

Biarkanlah saya membangun prasasti peringatan album Axis Mundi dan memahatnya dengan berjuta memori menyenangkan. Selain karena saya yakin tidak akan ada satu pun orang di dunia ini yang bisa membuat album seperti Axis Mundi lagi, saya juga berharap dengan tulisan ini Polka Wars bisa mempertimbangkan untuk tetap berkarya meskipun dengan kesibukannya masing-masing, sembari mengingatkan mereka bahwa di luar sana masih ada seseorang yang memutar Axis Mundi secara religius sembari susah payah mencari pemaknaan paling pas untuk setiap liriknya di sela rutinitas sebagai budak birokrat.

--

--

Bambang Irawan

review music once a year at @suakasuara | taking moments with film camera at birdlane.id | talking nonsense about american football at @4thandshortshow