Menelaah Konsep Rumah di “Kenapa Kita Tidak Berdansa” oleh Dea Anugrah
Setahun belakangan, sejak promosi dan pindah kantor, akhir pekan saya terasa lebih lengang daripada biasanya. Di kantor yang lama, weekend biasa dipenuhi dengan lari pagi, sarapan dan makan siang bersama, lalu nongkrong dari sore hingga larut bersama kawan-kawan. Namun di kantor yang sekarang, kebiasaan itu jarang dilakukan lagi. Lebih banyak waktu yang saya habiskan di kamar indekos saja. Sebenarnya ajakan main itu hampir selalu ada, namun tubuh dan pikiran saya sudah tidak lagi suportif untuk menopang hasrat keluyuran di akhir pekan.
Belakangan, saya jadi memulai kembali kebiasaan yang telah lama hilang sejak semakin sibuk di kantor: membaca buku lagi. Penulis yang pertama kali menarik perhatian saya adalah Dea Anugrah, karena sebagai pengguna aktif Twitter saya mengikuti kiprahnya dia hingga sekarang dia membesut media massa daring Kumparan Plus.
Sejak dia mengumumkan akan membuat buku baru, saya langsung prapesan dan sejujurnya saya senang karena perasaan excited ketika menunggu-nunggu rilisan buku baru dari penulis favorit muncul kembali, perasaan yang terakhir kali muncul belasan tahun yang lalu ketika saya menunggu-nunggu karya baru dari..Raditya Dika, alias sudah belasan tahun yang lalu.
“Kenapa Kita Tidak Berdansa” adalah kumpulan tulisan pendek karya Dea Anugrah yang beberapa di antaranya sudah pernah terbit di media massa daring seperti Asumsi dan Kumparan. Saya menyelesaikan buku itu dalam beberapa minggu.
Salah satu tulisan yang paling menarik dari buku itu adalah “Rumah = Nostalgia + Fantasi”. Tulisan itu bercerita tentang konsep Dea Anugrah tentang rumah. Menurutnya, rumah itu tidak hanya tentang ruang, tapi juga waktu. Namun dia telat untuk menyadari konsep itu, karena rumah sepemahaman dia dari kecil adalah nostalgia yang harus dijaga keasriannya, alias manis dikenang dan pahit diulang. Rumah dan seisinya, adalah masa lalu yang tak akan ditengok lagi. Rumah yang sebenarnya adalah hal-hal yang ingin dicapai di masa depan, alias fantasi. Maka dari itu dia pada saat itu tidak bisa berdamai dengan rumahnya di masa lalunya, yaitu ibu dan ayahnya. “Rumah” seharusnya adalah konsep masa depan, bukan masa lalu. “Jangan sampai jadi kacang lupa kulitnya” adalah pepesan kosong, karena masa lalunya penuh dengan kesulitan dan kemarahan.
Tiap-tiap orang bisa memiliki pendapat yang berbeda tentang rumah. Termasuk bagi saya. Bagi saya yang sudah tinggal jauh dari rumah sejak 7 tahun ke belakang, rumah pastinya adalah tempat bertumbuh dan tempat saya akan kembali sesegera mungkin. Senikmat-nikmatnya dunia di luar sana, rumah dengan orang tua kandung beserta isinya adalah tempat terbaik untuk bertumbuh dan kembali. Rumah juga berarti hari ini dan masa depan, dan pasangan saya masuk di dalamnya. Tentunya, saya yakin Anda yang membaca tulisan ini punya definisi lain tentang rumah.
Mungkin, bagi orang yang punya pengalaman buruk di masa lalu, rumah hanyalah nostalgia buruk yang hanya pantas dikenang tidak untuk diulang. Saya tidak akan menyalahkan hal itu, karena semua orang punya pengalaman yang berbeda terkait konsep rumah. Begitu pun dengan orang-orang yang lebih betah membusuk di kantor daripada pulang ke rumah dengan segala tahik-tahiknya. Kita tidak pernah tahu apa yang mereka hadapi di rumah.
Ada masanya, saya terganggu dengan kebiasaan orang-orang yang berlama-lama di kantor dibanding segera pulang ke rumah, atau minimal mencoba tempat-tempat baru di luar sana. Membayangkan berdiam lama di kantor, memandang tumpukan berkas kumuh dan layar-layar yang menyala redup, bilik-bilik yang menyimpan rahasianya masing-masing, lubang kakus di toilet yang sudah dipakai bergiliran oleh seluruh pegawai di situ, entah diduduki atau diinjak oleh pegawai yang buta petunjuk tidak boleh berak jongkok di toilet itu. Uh, betapa menjemukannya walau hanya dengan membayangkannya saja. Mungkin ada kantor-kantor yang fasilitasnya bagus dan tidak seburuk bayangan yang saya tuliskan di atas. Tapi tetap saja itu adalah kantor, tempat bekerja untuk mencari nafkah, bukan tempat untuk ditinggali.
Namun sekarang baru saya memahami bahwa kantor adalah tempat tinggal juga bagi beberapa orang. Bagi yang kondisi di rumahnya (rumah secara harafiah) terasa sangat menyiksa, tidak ada pilihan baginya selain kantor sebagai pelarian beserta rekan-rekan kerja yang bisa jadi sebatas rekan kerja, atau jadi teman dan sahabat, tergantung kebutuhan. Tidak ada yang salah. Seperti Dea Anugrah bilang, rumah itu harus memenuhi masa lalu, sekarang dan masa depan. Apapun itu yang bisa membuat kita merasa nyaman ada di dalamnya untuk waktu yang tak dapat ditentukan, itu adalah rumah. Meskipun masa depan memang tidak pasti dan kita hanya berpegang pada seutas dua utas harapan, kita semua perlu mensyukuri jika kita masih memiliki apa yang disebut dengan rumah.
Mari sesekali merayakannya, sama halnya dengan Dea Anugrah di tulisannya ketika pada akhirnya setelah puluhan tahun menyadari, bahwa ibunya adalah bagian dari rumahnya, dari masa lalu, hari ini, dan masa depan.