Lapar, Lebih Nyata Dari Dosa: Sebuah Resensi/Refleksi

Bambang Irawan
5 min readFeb 20, 2025

--

sumber gambar: Greedy Dust

Sebuah lagu yang bagus, dengan segala intriknya, akan semena-mena menghujam kedua rongga kuping dengan culas, lalu menerobos masuk ke sela-sela sel otak untuk merangsang seluruh syaraf otak agar terbangun dan memerintahkan seluruh anggota tubuh untuk bereaksi terhadap seluruh emosi yang hadir di kepala manusia di saat itu.

Baik emosi positif maupun negatif, mau marah, kesal, sedih, jijik, nafsu, sebal, puas, malu, murka, reaksinya terjadi seperti demikian. Ada bentuk emosi yang membuat manusia bereaksi sampai ke anggota tubuh, ada juga emosi yang hanya bersemayam di kepala, bertempur satu sama lain.

Jika manusia tersebut sedang merasakan emosi positif, rangsangan tersebut memaksa otak mengeluarkan hormon endorfin, yang menimbulkan euforia atau kesenangan. Sebaliknya jika emosi tersebut terlalu negatif, kepala yang dihinggapi emosi tersebut bisa terdorong untuk membentur-benturkan dirinya ke benda keras, untuk merasakan sakit yang nyata, menyulap pertempuran yang awalnya hanya terjadi di kepala menjadi rasa sakit yang bisa dirasakan anggota tubuh lainnya.

Mendengar lagu erat kaitannya dengan mengekspresikan pelbagai emosi tersebut. Dan itu adalah salah satu tanda kesempurnaan manusia, dalam kemampuannya merasakan sekian banyak perasaan. Itulah kenapa, kita adalah satu-satunya spesies manusia yang bisa bertahan sampai saat ini. Sebagai bagian dari spesies manusia modern (homo sapiens), leluhur kita bisa memenangkan pertempuran evolusi melawan spesies manusia lainnya, yaitu Neanderthal salah satunya dikarenakan perasaan yang sekompleks itu.

Bayangkan, jika leluhur kita hanya punya dua macam emosi, yaitu lapar dan kenyang. Mungkin sejarah manusia hanya akan diceritakan oleh satu hal saja; kawanan yang berburu babi hutan di alam liar untuk bertahan hidup, dipimpin oleh satu orang(atau binatang) yang menyebut dirinya Alpha, atau yang sekarang bisa kita lihat ciri-cirinya di kaum pengikut Andrew Tate. Pada akhirnya kita akan bernasib sama seperti manusia purba lainnya, dan bumi sekarang akan dipenuhi spesies lain yang jauh lebih unggul dibandingkan homo sapiens (seseorang, tolong hentikan Yuval Noah Harari mencekoki kepala saya).

Judul tulisan ini diambil dari lirik tunggalan sebuah band punk dari Bandung bernama Dongker, berjudul “Tuhan di Reruntuh Kota”, yang dirilis di tahun 2023.

Di tunggalan tersebut, kuartet Delpi, Arno, Dzikrie, dan Bilal menulis lirik tentang kekecewaan akan segala hal; kepada institusi negara, keluarga, individu, dan kota tanpa harapan; semuanya digubah dengan tulus tanpa tendensi pretensius. Lirik tentang kekalahan, kemarahan, dan kemasygulan, diselipi secercah harapan untuk melawan ketidakberdayaan di pengujung lagu, diawali dengan lima bait pertama yang sungguh menohok bagi saya.

lapar lebih nyata dari dosa

secepat kilat imanku hilang

bagai semesta rumahku lenyap

tak ada doa yang berguna

tak ada tangis yang tak tragis

Jika mungkin kebanyakan komentar di Youtube mengumpamakan sebuah lagu bagus dengan kiasan ‘duh, sopan sekali masuk ke kuping’, mungkin bagi saya “Tuhan di Reruntuh Kota” ini lebih cocok diungkapkan dengan ‘berandalan tanpa permisi menyatroni kuping’ karena lagu ini mengaduk-aduk emosi dan banyak hal lain dalam waktu bersamaan.

Bagi saya, keseluruhan lagu “Tuhan di Reruntuh Kota” adalah sebuah ungkapan nyata tentang berbagai emosi negatif yang terlalu kelam hingga mempengaruhi cara pandang manusia terhadap keadaan, dalam konteks lagu ini digambarkan di bait pertama sampai kelima di atas. Emosi negatif ini bisa jadi berbentuk marah, kecewa, benci, sedih, dan lainnya. Namun, sebagai manusia yang sudah berusia 29 tahun berjalan di muka bumi ini, saya jarang merasakan emosi negatif yang sebegitu kelamnya sampai bisa mengubah cara pandang saya terhadap banyak hal seperti diungkapkan di lagu ini.

Selama ini, ketika sedang mengalami pengalaman yang memicu emosi negatif, saya cenderung menghindari atau melakukan sesuatu agar bisa melupakan sesegera mungkin perasaan itu. Salah satu caranya adalah mendengar lagu favorit. Namun tiap kali mendengar ‘Tuhan di Reruntuh Kota’, lagu ini seakan-akan mengajak saya untuk berkata ke diri sendiri untuk merasakan semua emosi baik positif maupun negatif dan jangan terburu-buru untuk bisa segera baik-baik saja.

Lagu semacam ini memberi tahu saya untuk mengenali diri sendiri ini sebagai manusia yang diciptakan Allah dengan sesempurna itu, berikut dengan akal pikiran, hawa nafsu dan kemampuan merasakan yang membuat kita lebih mulia dibanding malaikat sekalipun yang tidak mengenal itu.

Beragamnya emosi yang dirasakan manusia ini didukung penelitian dari Universitas Berkeley, California yang secara spesifik menyebutkan bahwa manusia memiliki 27 perasaan, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Metode penelitiannya yaitu dengan mengambil data dari beberapa grup yang diminta untuk menonton potongan video pendek yang berisi macam-macam kejadian, seperti babi yang tertabrak truk, kucing yang sedang memijat anjing, laba-laba yang bersarang di mulut lelaki, dan lainnya. Setelah menonton semua video itu semua responden diminta mengirim semua pengalaman emosional ke form khusus, dengan total respon sebanyak 27,760.

Hasil penelitian itu membuktikan emosi manusia yang sangat luas dan kompleks. Bahagia sendiri sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak perasaan yang bisa terjadi di manusia. Hanya saja, pengalaman yang didapatkan ketika sedang bahagia atau senang itu membawa efek positif bagi tubuh. Namun kebanyakan mengejar perasaan bahagia itu seolah-olah mengabaikan fakta bahwa di seumur hidup manusia akan terjadi banyak kejadian yang bisa menimbulkan emosi negatif. Dan jika bahagia itu satu-satunya tujuan kita hidup di dunia, maka bisa jadi tubuh kita akan merasakan ketidakseimbangan yang akut, karena perasaan lain pun akan hilir mudik hadir sesuai perjalanan hidup.

Terlalu fokus kepada tujuan bahagia akan menghilangkan esensi bahagia itu sendiri.

Istri saya mengajarkan banyak hal tentang perasaan dan kompleksitasnya yang membuat manusia makhluk paling canggih yang pernah diciptakan. Dia memberitahu saya bagaimana caranya mengendalikan perasaan negatif dengan cara membiarkan perasaan itu mengambil alih kendali tubuh, alih-alih terburu-buru mencari pelarian untuk membuang perasaan negatif itu.

Suatu waktu saya membaca sebuah ucapan selamat pernikahan yang menarik di situs pengumuman pernikahan seorang teman yang kata-katanya, “Congratulations, semoga selalu bersama di kala suka maupun duka”, alih-alih mengucapkan “semoga bahagia selalu bersama pasangan” seperti sebagian ucapan lainnya. Kata-kata itu sederhana, tapi saya tidak pernah sesetuju itu kepada ucapan orang di internet, siapa pun itu.

Saya teringat kala akad nikah yang saya lakukan bersama istri dua tahun yang lalu. Pada saat itu kami mengucapkan janji suci pernikahan untuk selalu bersama dalam senang dan luka, suka dan duka, selamanya tetap bersama hingga maut memisahkan dan akhirat mempertemukan kami kembali. Karena kami percaya perasaan senang, bahagia itu tidak ada yang abadi, begitupun juga perasaan sedih, dan lainnya. Semua akan hilir mudik singgah dan pergi, sepanjang kami menumpang hidup di semesta ini.

Rasakanlah letupan emosi tersebut sepelan mungkin, biarkanlah tetesan air mata ataupun luapan kemarahan itu mengalir ke nadi-nadi di sekujur tubuh, sama halnya ketika bagian-bagian tubuh kita merasakan hal-hal yang baik ketika kita sedang bahagia. Mari kita merayakan kemarahan, kekecewaan, kesedihan sama halnya ketika kita menikmati kesenangan dan kegembiraan. Biarkanlah sejuta perasaan itu mengontrol tubuh dan pikiran kita, selayaknya manusia seutuhnya. Lalu pada akhirnya mari kita angkat tangan tinggi-tinggi, sisakan jari tengahmu, menari bersama di atas menara, abadi dan tak pernah mati.

(Saya sarankan pembaca untuk mendengar terlebih dahulu tunggalan ‘Tuhan di Reruntuh Kota’ dan ‘Bertaruh Pada Api’-nya Dongker untuk lebih mendapatkan konteks tulisan ini)

--

--

Bambang Irawan
Bambang Irawan

Written by Bambang Irawan

what is lost shall never be found.

No responses yet