Jakarta, Petang.
06.00 WIB
Aku heran, kenapa banyak orang membenci Jakarta.
Pagi itu semua orang dengan tas dan mata berbinar, menunggu kereta pertama melintas, mengobral tumpangan ke pusat kota.
Deritan rel beradu dengan nafas penuh gairah menyongsong harapan, hingga luput untuk sekadar mengucapkan selamat pagi pada orang terdekat.
Lalu pengeras suara bekerja dengan lantang menyebut satu per satu tujuan pemberhentian. Dan mungkin, tujuan hidup untuk seluruh lapisan masyarakat di sini.
Beberapa ayah mencari nafkah untuk anak istri di rumah. Beberapa lainnya wanita karir dan mahasiswi dengan ambisinya masing-masing. Lalu ada beberapa masyarakat kelas menengah sambil menenteng gadget lalu membuka laman Vice atau CNN, sekadar mendapatkan berita terkini. Ada juga yang membaca Al Quran dengan mengalun lembut, berusaha keras agar orang kiri kanan tidak terganggu.
Dinding-dinding stasiun yang rapuh dimangsa dekade, engsel pintu yang berkarat, dan sisi peron yang retak sana sini menjadi saksi perjuangan manusia ibukota bertahan hidup.
18.00 WIB.
Aku bingung, kenapa orang membenci Jakarta.
Malam menjelang, gedung-gedung menjulang dengan angkuhnya. Memancarkan cahaya gemerlap cermin perekonomian yang superior.
Malam adalah perwujudan ruh sesungguhnya bagi warga sini. Detak Jakarta berirama dengan adrenalin,memompa impian-impian untuk jaya.
Dan aku disini, meratapi dogma dogma tebal yang membentengi harap-harap kusam.
Aku meninggalkannya di pelukan langit yang sebentar lagi runtuh dalam jutaan serpihan perih.
Lalu Jakarta kembali ke pukul enam petang. Saatnya bergegas. Kehidupan tak akan pernah berputar di kota ini saja.
Takdir pun berputar mengikuti sabda Tuhan, tidak ada yang namanya menetap, semua hanyalah singgah.
Sembari menggenggam koper di tangan kanan, aku menatap langit temaram Jakarta untuk terakhir kalinya. Sampai jumpa kembali, Anda.