Halo. Dengan Siapa, ya?

Bambang Irawan
3 min readJul 7, 2020

--

Di suatu siang di hari kerja yang membosankan, saya memarkir motor di warung rujak langganan saya sejak lama, tepat di samping sebuah motor yang sudah duluan berada di situ. Seperti biasa saya menegur bapak penjual rujak itu, memesan menu langganan, lalu mengambil posisi duduk. Di ujung kursi, ada seorang bapak yang sedang menunggu pesanan tiba juga, sembari sibuk berbicara di telepon. Saya tidak berminat untuk mengobrol ataupun sekadar beramah tamah pada saat itu karena hanya ingin menyantap rujak lezat itu saja, tanpa babibu. Beberapa menit kemudian, bapak itu selesai menelepon, lalu langsung menyapa dan bertanya asal saya dari mana.

Saya jawab pertanyaan itu sekadarnya karena memang sedang tidak berniat berbasa-basi, namun dari situ obrolan malah mengalir lancar. Semenjak dia tahu saya bukan lahir dan besar di sini, dia tertarik untuk banyak lebih tahu tentang saya. Sampai akhirnya saya tahu pekerjaan bapak itu, riwayat karirnya, keluarganya, sampai sekolah anak-anaknya yang diceritakan bapak itu, sembari melahap satu per satu potongan buah rujak dan ramuan bumbu yang diulek dengan penuh cinta, semuanya berjalan dengan begitu cair seperti dua kawan lama akrab yang telah lama tak bersua, hingga tidak terasa jam istirahat siang telah berlalu dan saya harus bergegas kembali ke kantor.

Sementara di momen yang berbeda saya berkunjung ke banyak tempat baru untuk mencari kesempatan menyapa duluan orang-orang yang sebelumnya tak pernah dikenal , lalu membuka dan menciptakan topik hangat yang kekal hingga berjam-jam. Begitulah yang acap terjadi, obrolan renyah, ramah tamah yang khas, dan sapaan untuk mengakhiri obrolan hangat yang klise, yang lebih sering saya alami dengan orang asing dibanding orang yang sudah lama saya kenal beberapa waktu belakangan ini.

Sebaliknya ketika saya kembali ke kantor, melihat semua orang yang saya kenal sejak lama berlalu lalang, rasanya lelah sekali untuk sekadar bertegur sapa meskipun tetap saya lakukan dengan enggan. Hingga tiba di satu titik di mana saya merasa sangat asing dengan orang-orang kantor itu. Orang-orang yang tiap hari bertemu, berbicara, bekerja, berdebat dan tertawa pada hal yang sama. Kehangatan yang biasa terjalin bertahun-tahun perlahan pudar, karena siklus kebosanan yang makin memadat. Begitupun dengan orang-orang yang saya ikuti di laman sosial media, dengan segala macam pembaruan kehidupannya. Tiap kali saya melihat pembaruan kehidupan mereka, saya makin merasa sosial media itu penuh tipuan dan tidak membuat saya makin merekatkan hubungan saya dengan mereka. Setelah saya simpulkan lagi, tidak ada alasan bagi saya untuk berlama-lama berada di sana, kecuali untuk mencari gambar-gambar atau video lucu tentang kucing, atau Ancah Nhaga misalnya, melepas penat setelah bertemu berbagai macam manusia seharian.

Sembari menulis ini, saya mengingat-ingat lagi kapan terakhir kali saya buka pembaruan teman-teman saya di Instagram, lalu saya pun tidak ingat sama sekali. Yang saya ingat pasti, semenjak saya membatasi diri menggunakan sosial media hidup saya jadi lebih tenang, itu saja. Apakah itu membuat hubungan saya renggang dengan mereka? Tentu saja tidak. Karena saya bisa membuat pesan singkat atau menghubungi mereka dengan telepon kapan pun saya mau. Begitu pun sebaliknya, saya akan selalu meluangkan waktu. Paling mungkin, teman-teman saya akan menanyakan saya dengan terheran-heran jika ada sesuatu hal yang tidak saya tahu yang berasal dari fitur pembaruan di Instagram. “Loh, lo ga liat Instastory gue kemarin emang?” adalah kata-kata yang belakangan sering saya terima semenjak saya jarang memakai aplikasi itu. Saya senang jika teman-teman saya bertanya seperti itu, berarti menunjukkan bahwa saya masih dianggap berada. Satu-satunya yang saya sedikit khawatirkan dari absennya saya dari kehidupan di sosial media ini adalah ketika saya ingin menghubungi teman yang sudah lama tak bertemu lewat telepon, lalu di seberang sana dia menjawab, “Halo, iya betul dengan aku sendiri. Ini Bambang yang mana, ya?”

--

--

Bambang Irawan
Bambang Irawan

Written by Bambang Irawan

what is lost shall never be found.

No responses yet