Fear: Teror di Gedung Putih.
“Will somebody from his depleted and food starving regime please inform him that my NUCLEAR button is much bigger and more powerful one than his, and my button WORKS!”
- Cuitan Trump tentang nuklir dan Kim Jong-un di Twitter
Saat tulisan ini dibuat, kerusuhan terkait dengan protes pada kekejaman polisi atas kematian George Floyd di Minneapolis, Minnesota semakin meluas di seantero Amerika Serikat. Isu rasisme yang merupakan bara dalam sekam di negeri adidaya tersebut dan dapat ditarik benang merahnya dari sejarah panjang Amerika dari ratusan tahun lalu itu nampaknya mulai mengambil peran strategis dalam kancah perpolitikan negara tersebut. Genap sekitar dua tahun semenjak tragedi serupa di Charlottesville, Virginia, kerusuhan kembali merebak dengan objek pemicu seorang polisi kulit putih bernama Derek Chauvin yang membunuh nyawa seorang warga kulit hitam bernama George Floyd, dalam proses penangkapan. Dalam kejadian itu Derek menginjak leher Floyd dengan lututnya hingga sekitar beberapa menit, hingga tewas.
Di saat masyarakat di sana sedang turun ke jalan menuntut keadilan, di belahan dunia lainnya seorang remaja banyak waktu luang baru saja menyelesaikan buku tentang seorang pengusaha real estat dan bintang reality show yang secara mengejutkan terpilih sebagai presiden negara paling berkuasa di dunia saat ini yaitu Donald Trump. Judulnya adalah Fear: Trump in a White House. Ditulis oleh Bob Woodward, seorang jurnalis senior dari The Washington Post sekaligus pemenang penghargaan tertinggi untuk profesi jurnalis di Amerika Serikat yaitu Pulitzer Prize sebanyak dua kali. Tidak kok, saya tidak sedang mencoba untuk menjadi seseorang yang merasa paling woke dengan membahas isu-isu terkini. Cuma karena kebetulan saja baru selesai baca dan saya ingin menuliskan pendapat saya soal Trump dan buku ini, tentunya.
Buku ini membahas tentang carut marut yang terjadi di Gedung Putih, ketika Trump menginjakkan kakinya di gedung tersebut semenjak awal tahun 2017. Bob Woodward menceritakan dengan runtut kejadian-kejadian penting dari awal Trump secara mengejutkan mengalahkan Hillary Clinton di Pemilu 2016 hingga masa pemerintahannya sampai buku ini dibuat di sekitar awal tahun 2018. Dijelaskan juga bagaimana sepak terjang pembantu-pembantu Gedung Putih yang bertugas untuk membantu Donald Trump untuk merumuskan kebijakan ataupun membuat keputusan, terutama yang kaitannya tentang hubungan internasional dan kebijakan strategis lainnya. Di situ pembantu-pembantu utama seperti Steve Bannon, Mattis, Mc Master, John Kelly, Priebus sebagai tokoh-tokoh utama pelayan Trump benar-benar pontang-panting dalam berhadapan dengan presidennya, ketika keputusan-keputusan yang diambil Trump bisa saja menjerumuskan Amerika Serikat dan dunia dalam jurang bencana. Beberapa momen paling menarik yang diulas secara runtut di buku ini antara lain;
Perseteruan dengan Kim Jong-Un
Salah satu momen pemerintahan Trump yang membuat dunia terenyak adalah ketika dia bertukar serangan dengan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kamerad Kim Jong-Un. Di pidato perdana dia di Majelis Umum PBB, dia menyebut Kim sebagai ‘Little Rocket Man’, membalas perkataan Kim sebelumnya yang menyebut Trump orang sakit mental dari Amerika. Padahal di awal masa pemerintahannya, Trump sempat melontarkan keinginan yang kuat untuk bernegosiasi dengan Kim Jong-Un terkait pembatasan senjata nuklir yang dia anggap berbahaya bagi keselamatan dunia. Bob Woodward mengisahkan tentang kegigihan Trump untuk tetap bersikap keras terhadap Korea Utara yang tampaknya tidak gentar terhadap gertakan Paman Sam.
Lalu di tengah situasi dunia yang memanas karena masing-masing tidak ada yang mau mengalah, muncullah cuitan legendaris dari Trump soal tombol nuklir membalas apa yang dikatakan Kim sebelumnya yang kira-kira berisi “Saya punya tombol nuklir di meja kerja saya” dalam rangka menakut-nakuti Amerika (cuitan balasan Trump bisa dilihat di pembuka tulisan ini). Melihat tuannya tiba-tiba mengirim cuitan provokatif seperti itu, barisan pembantu Trump kebingungan harus melakukan apa, karena baik pimpinan mereka maupun musuh pimpinan mereka sama-sama punya sifat yang tidak mudah ditebak. Pada akhirnya mereka buru-buru merilis siaran pers susulan bahwa tombol nuklir yang Trump bilang di Twitter itu sebenarnya mengada-ada. Momen ini bisa dibandingkan dengan Krisis Nuklir Kuba tahun 1962, di mana bumi saat itu selangkah lebih dekat menuju jurang perang nuklir akibat kegagalan Amerika Serikat dan Uni Soviet mencapai kata sepakat terkait dengan penempatan rudal-rudal berhulu ledak nuklir di Kuba.
Reformasi Pajak, Kebijakan Terbaik Trump
Reformasi Pajak adalah salah satu ‘prestasi’ di awal pemerintahan Trump yang sangat dibangga-banggakan dia pada awal pemerintahannya namun dalam proses pengambilan keputusannya sangat seru dan melibatkan banyak perdebatan panas di lingkup pembantu-pembantunya dan Kongres. Reformasi pajak adalah salah satu poin janji kampanye Trump dan yang sangat diusahakan untuk dia selesaikan paling awal karena semakin banyak korporasi Amerika yang memilih memindahkan bisnisnya ke tax haven alias negara-negara bertarif pajak rendah. Dengan reformasi pajak ini, sumber-sumber pemasukan potensial seperti itu bisa ditarik kembali ke Amerika dengan jumlah yang besar, klaim Trump bisa sampai triliunan dolar. Tarif pajak korporasi yang sebelumnya adalah tiga puluh lima persen (salah satu yang tertinggi di dunia) akhirnya bisa diciutkan hingga hanya sebesar dua puluh satu persen sebagai hasil akhirnya. Meskipun diprotes Demokrat karena RUU ini berpotensi menguntungkan kalangan pebisnis saja yang populasinya hanya satu persen dari seluruhnya dan bisa mencekik sebagian besar rakyat lainnya, serta Trump sama sekali tidak paham tentang perpajakan (tentu saja, tuduhan terhadap Trump sebagai pengemplang pajak bukanlah tuduhan tanpa alasan), namun pada akhirnya rancangan undang-undang itu disetujui Kongres dan akhirnya menjadi pencapaian penting administrasi Trump di tahun pertama pemerintahannya.
Kegilaan Trump di Twitter
Setiap cuitan yang dilakukan Trump di media sosialnya adalah sumber berita gratis untuk portal berita semacam Fox, CNN, dan lainnya. Tidak heran, karena dari dulu Trump sudah aktif menggunakan platform Twitter sebagai sarana curhatnya sejak dari zaman dia masih jadi selebriti di acara reality show The Apprentice.
Salah satu hal yang paling menarik yang bisa ditemukan di akun twitter Donald Trump adalah panggilan dia terhadap tokoh-tokoh tertentu yang lumayan mengundang gelak tawa. Misalnya dia menyebut rivalnya yang mengundurkan diri dari perebutan capres dari Parta Demokrat, Bernie Sanders dengan sebutan Crazy Bernie. Atau calon presiden dari Demokrat untuk saat ini, Joe Biden dengan panggilan Sleepy Joe (halo pengembang aplikasi yang membaca artikel ini, bisakah kalian membuat aplikasi yang mampu memprediksi julukan Trump pada pengguna berdasarkan tipe kepribadian pengguna, jika suatu saat nanti pengguna mencalonkan diri sebagai presiden AS?).
Trump tentu terinspirasi dari konsultan politik spesialis kampanye hitam bernama Roger Stone, salah satu teman lama Trump. Di dokumenter Netflix Get Me Roger Stone yang baru saya tonton juga untuk melengkapi pemahaman saya tentang Trump selain buku Fear dan dokumenter Netflix lainnya Trump: An American Dream, dijelaskan bahwa Roger Stone adalah seorang konsultan politik tersohor yang sudah melanglang buana di dunia perpolitikan Amerika Serikat semenjak era Richard Nixon hingga sekarang. Dan beliau juga seorang Machiavellian sejati. Dengan kata lain, dia akan melakukan segala hal untuk mencapai tujuannya, dan untuk melanggengkan kekuasaan dia akan menggunakan rasa takut, karena menurutnya rasa takut akan jauh lebih efektif dalam mengendalikan orang daripada sifat ramah dan berteman. Dan memang pada faktanya Roger Stone berhasil mengalahkan lawan-lawannya dengan metode tersebut, mayoritas dengan tuduhan-tuduhan tak bernas dan kebohongan-kebohongan konyol menjurus ke kampanye hitam, yang sejujurnya membuat politik Amerika di era dia sangat seru untuk diikuti. Di series tersebut, beliau dijuluki sebagai Dark Side-nya perpolitikan Amerika Serikat.
Donald Trump, tentu saja mengikuti guru besarnya itu, termasuk dalam hal bersosial media khususnya di Twitter. Bob Woodward menjelaskan di buku ini bahwa kekuatan terbesar Trump adalah kepandaian luar biasa untuk mempengaruhi orang dengan cara apapun. Sudah tak terhitung seberapa banyak false claim yang Trump lontarkan di platform ini, bahkan cuitan terakhir tentang tragedi Minneapolis menjadi korban dari sistem fact-checking dari Twitter. Tentu saja sesuai karakternya, Trump tidak pernah mundur selangkah pun. Di cuitan-cuitan selanjutnya, beliau melontarkan makian-makian kepada Twitter dan juga mempertanyakan dengan sinis kenapa cuitan-cuitan penuh hoax dari negeri tirai bambu tidak menjadi perhatian fact checking Twitter juga.
Trump adalah seorang Gemini sama seperti…errr, Bung Karno dan Bung Harto.
Kalimat tanpa konteks di atas semoga bisa cukup menjelaskan.
Charlottesville dan Minneapolis
Seperti sudah disinggung di paragraf awal, kejadian yang terjadi di Minneapolis minggu lalu adalah titik kulminasi dari berbagai kasus rasisme yang terjadi di negara itu dalam beberapa tahun terakhir. Di 2017, sebuah iring-iringan pawai kelompok pendukung supremasi kulit putih, neo-Nazi, garis kanan ekstrem, dan kelompok fasis lainnya berlangsung ricuh ketika berhadap-hadapan langsung dengan kelompok penentangnya. Banyak yang terluka dan satu meninggal gara-gara insiden tersebut. Dan reaksi pertama Trump akan tragedi itu? Menyebut orang-orang itu good people.
Dia adalah seorang sociopath, yang sangat efektif dan efisien layaknya robot. Hal itu sangat membantu mencapai tujuan-tujuan dia yang sifatnya material. Namun dengan posisinya sebagai presiden, nyaris tidak mungkin membawa karakternya itu sebagai seseorang yang paling dibutuhkan untuk menengahi sebuah masalah skala nasional seperti itu, dengan kadar empatinya yang sangat rendah.
Bagaimana jika Trump satu zaman dengan Hitler?
Saya menangkap kesan bahwa banyak diktator dan pemimpin-pemimpin notorious yang sudah pernah kita kenal dan alami di dunia ini seperti Hitler, Stalin, dll punya kesamaan yang samar-samar. Mereka punya semacam musuh personal masing-masing, dan dengan kemampuan orasinya yang superior mereka membawa isu personal mereka ini ke ranah negara. Dan dengan pengaruhnya yang luar biasa, mereka dapat menjadikan musuh pribadinya ini menjadi musuh bersama suatu negara atau bangsa yang dipimpinnya, yang harus ditaklukkan. Sebut saja paling mudah Hitler, dengan bangsa Yahudi dan komunismenya. Stalin dengan fasismenya. Fidel Castro dengan imperialisme Amerika. Bahkan bapak bangsa kita sendiri punya musuh bersama bagi bangsa Indonesia pada zaman itu, yaitu neo-kolonialisme. Lalu bagaimana dengan Trump? Jelas, dia sangat benci dengan media (saya punya tebak-tebakan, berapa kali Trump menuliskan Fake News di Twitternya? Yang tahu angka pastinya silakan tulis di kolom komentar). Selain media, dia pernah bermusuhan dengan Korea Utara, tentunya. Dan yang terbaru China. Melihat sepak terjang Trump di buku setebal 478 halaman ini, sulit untuk menyangkal bahwa hal-hal yang ingin dijadikan Trump “musuh bersama” rakyat Amerika tak lebih merupakan buah dari ketidakmampuan Trump untuk menghadapinya. Saya kira dengan keindetikan yang sudah dibahas dari beberapa tokoh di atas, Trump sudah pasti sangat cocok untuk dilibatkan dalam arena pertarungan tokoh-tokoh paling notorious di Perang Dunia II. Terserah mau di pihak mana, yang penting saya tidak perlu hidup di era yang sama dengan beliau.
Peta Pemilu 2020
Meskipun tidak dibahas di buku ini, jika ditanya dengan kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini, bagaimanakah peluang Trump di pemilu presiden 3 November nanti? Di titik sekarang ini, saya tidak peduli siapa yang akan menang, Trump atau Biden. 2020 merupakan tahun yang berat bagi semua orang, tanpa terkecuali. Sheesh, saya pun mungkin tidak akan seterkejut itu jika tiba-tiba alien mendarat di bumi untuk memperkenalkan diri secara resmi ke umat manusia di pertengahan tahun ini, atau Kaiju muncul lalu memporak-porandakan Tanjung Priok dari kedalaman Samudera Hindia. Atau gelombang lanjutan virus COVID-19 ketika seluruh orang merasa pandemi ini sudah mereda. Trump dan Amerika adalah sebutir kerikil di tengah-tengah pandemi Corona, Ebola, ancaman resesi global, dan sebagainya.
Sebagai penutup, buku yang dituliskan Bob Woodward ini bisa jadi sangat informatif menggambarkan situasi Gedung Putih khususnya dan Amerika Serikat pada umumnya, jika pembaca sudah mengerti betul latar belakang perpolitikan Amerika Serikat dan bagaimana cara kerja pemerintahan model republik federal. Saya menghabiskan waktu yang lama untuk menamatkan buku ini karena referensi saya yang kurang memadai untuk perpolitikan Amerika Serikat, hanya berdasarkan rasa penasaran saya yang tinggi untuk seorang figur bernama Donald Trump ini. Tentu saja jika sudah paham betul, maka buku ini tentu ini menjadi pilihan yang tepat.