Bung Karno dan Kepedihan di Akhir Hayatnya.

Bambang Irawan
4 min readApr 4, 2020

--

“Aku ahli ilmu jiwa massa, aku lebih suka memakai uniform setiap muncul di depan umum, oleh karena aku menyadari bahwa rakyat yang sudah diinjak-injak kolonialisme senang melihat pemimpin mereka berpakaian gagah. Aku menyadari bahwa rakyat menginginkan seorang tokoh pahlawan dan figur yang bisa dibanggakan, kupenuhi keinginan mereka.”

-Soekarno-

sumber gambar: kompasiana.com

Beberapa waktu yang lalu, saya baru saja menyelesaikan buku biografi Soekarno yang disusun oleh penulis dan sejarawan Uni Soviet di era Perang Dingin, yaitu Kapitsa MS dan Maletin N.P. Popularitas dan keagungan Soekarno di puncak kejayaannya telah menarik sebagian besar orang di seluruh dunia, termasuk kedua sejarawan dari negeri Tirai Besi itu untuk meneliti lebih jauh tentang kehidupan pribadinya, tentang memoarnya, dan sejarah panjang perjuangannya untuk bangsa Indonesia.

Saya pribadi baru kali ini membaca biografi Soekarno dari penulis orang luar. Pada waktu itu saya mencari-cari buku sejarah di laman Berdikaribook lalu menemukan buku ini. Banyak poin menarik tentang diri Soekarno yang mengambil perspektif dari rakyat dan pemerintah Uni Soviet pada waktu itu, sehingga cukup membuat terenyak bagi sebagian dari kita yang terbiasa mengagung-agungkan Bung Karno sebagai Bapak Revolusi Indonesia tentang betapa tidak berdayanya beliau di akhir masa kepemimpinannya.

Anggaran Perkembangan Ekonomi

Setelah dua puluh tahunan berada di tampuk kepemimpinan, borok-borok dari pemerintahan beliau mulai terkuak sedikit demi sedikit. Pada kampanye Irian Barat atau Trikora, anggaran untuk perkembangan ekonomi hanya 25–30% dari keseluruhan anggaran belanja. Ini makin memperparah kesejahteraan rakyat yang pada waktu itu sudah memprihatinkan. Bahkan sekutu-sekutu terdekat Bung Karno ketika itu seperti DN Aidit memberikan kritiknya kepada kebijakan kala itu dengan menekankan taraf perkembangan produksi nasional sebagai tolok ukur keberhasilan revolusi yang selalu didengung-dengungkan oleh Bung Karno.

sumber: mojok.co

Bung Karno tidak pernah secara serius berusaha untuk memperbaiki sektor ekonomi di tengah-tengah tingkat kesejahteraan yang buruk sekali. Di mana-mana rakyat berdemo, menuntut ketersediaan bahan pokok yang harganya melonjak jauh karena inflasi dan krisis. Konflik horizontal mulai terjadi karena benturan kelas yang terjadi di akar rumput masyarakat. Pada tanggal 23 Maret 1963 beliau berpidato dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon) sebagai topik utamanya. Dalam orasinya itu beliau mengulang-ulang tentang bahaya ekonomi nasional jika terlalu bergantung pada asing. Dari sinilah kerangka konsep Berdikari mulai digaungkan. Di konsep Berdikari, ekonomi nasional akan bertumpu pada kemampuan sendiri dan memberikan regulasi ketat kepada modal asing. Konsep yang sangat Soekarno sekali, namun apakah semua itu realistis untuk bisa dilaksanakan?

Stabilitas Politik

Di tengah konflik yang kian menajam, Soekarno masih sibuk mencari simpati yang tidak menyelesaikan masalah pokok pada saat itu. Maka beliau memalingkan wajah ke negeri tetangga, yaitu Malaysia. Seperti kita semua sudah tahu, operasi yang dinamakan Dwikora tidak menghasilkan apa-apa kecuali krisis yang makin menghimpit karena tersedotnya anggaran yang bukan main besarnya untuk mendukung operasi tersebut.

Di tengah situasi yang makin tidak kondusif, suara-suara sumbang tentang ketidakmampuan kepala negara dalam menyelesaikan masalah sampai juga ke telinga Soekarno. Hanya satu faksi dalam pemerintahan yang tampaknya masih bersimpati kepadanya, yaitu PKI. PKI yang dimotori DN Aidit banyak membantu Soekarno dalam mengambil keputusan, sekaligus mendukung banyak langkah Soekarno dalam perjalanannya. Dan begitulah cerita antara Soekarno dan PKI yang juga berhubungan erat dengan cita-citanya yang lain, mewujudkan Nasakom. Singkat cerita, sampailah Indonesia ke salah satu tragedi paling berdarah sepanjang umur bangsa ini yang masih belia, yaitu tragedi G30S. Sebagai pihak yang sedang terdesak, semua telunjuk mengarah ke Soekarno beserta PKI, tentunya. Masyarakat waktu itu semakin kesal kepada Bung Karno. Portret-potret bapak bangsa negara ini mulai dipreteli dan diturunkan di mana-mana. Dan, dengan kemauan kerasnya Soekarno berusaha sekuat tenaga mempertahankan kursinya selama kurang lebih dua tahun hingga akhirnya, 1967 Soekarno meletakkan jabatan berdasarkan ketetapan MPRS terbaru, di tengah krisis hebat yang melanda negeri. Dalam buku ini Kapitsa dan Maletin menjabarkan satu demi satu peristiwa yang mengiringi kemunduran Soekarno hingga menyisakan tubuh renta yang tak terawat dengan baik hingga akhirnya berpulang pada 1970.

Penjelasan historis yang runtut dan bumbu intrik kekuasaan di dalam pemerintahan membuat saya terpaku membaca buku ini sembari membayangkan jika saya sendiri berada di lingkar kekuasaan pada waktu itu. Pada akhirnya, Soekarno adalah seorang manusia biasa yang sangat menyayangi Indonesia melebihi apapun di dunia ini, bahkan dibandingkan dengan istrinya. Keputusan beliau untuk akhirnya mundur tak lebih untuk menghindari konflik yang bakal mengakibatkan hancurnya kemerdekaan itu sendiri yang diraih dengan darah dan air mata. Selain itu dibeberkan juga tentang TAP MPRS tahun 1963 tentang penetapan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup dan pecah kongsinya dwitunggal Bung Karno dan Bung Hatta yang menjadi titik awal kemunduran pemerintahan saat itu. Kejadian-kejadian dramatis yang mengiringi peralihan kekuasaan dari “Orde Lama” ke “Orde Baru” pun ditulis dengan begitu mengiris hati, terutama ketika Bung Karno hadir ke Jakarta dalam upacara peringatan proklamasi untuk menyerahkan bendera pusaka yang dijahit Fatmawati ke semua panglima angkatan bersenjata secara simbolis. Dan dengan begitulah, beliau mengakhiri karir politiknya selama puluhan tahun itu. Lalu tiga tahun kemudian, di sebuah kamar yang hening, beliau mengakhiri perjuangan lainnya melawan sakit komplikasi yang dideritanya dengan tenang.

Rest In Power, Pak.

--

--

Bambang Irawan
Bambang Irawan

Written by Bambang Irawan

what is lost shall never be found.

No responses yet