Alarm Sumbang Pengeras Suara Masjid.
Minggu, 12 April 2020
Setiap pukul lima pagi buta menjelang, aku acapkali terbangun oleh azan yang dikumandangkan dari pengeras suara masjid di komplek tempat aku tinggal, hanya beberapa blok dari rumah sewaku. Biasanya setelah azan selesai, dilanjutkan dengan pelafalan ayat-ayat suci, lalu ikamah, dan imam mempimpin salat berjamaah, semuanya dengan pengeras suara. Tak hanya masjid itu saja, semua masjid di kota ini melakukan hal yang sama, membuat suasana kota ini ketika masih subuh buta begitu meriah. Beberapa bulan pertama tinggal di kota ini, aku sering jengkel dengan hal-hal seperti ini. Lagian, siapa sih yang suka tidur nyenyaknya berikut mimpi yang menyertai terganggu oleh hal-hal di luar kuasa kita seperti itu? Apalagi kalau terbangun oleh token kamar sebelah yang berdering nyaring tanpa rasa bersalah?
Namun seiring waktu, aku mulai merasa nyaman dengan pengeras suara masjid tersebut, begitu pun aku mulai membiasakan diri melangkahkan kaki ke masjid. Dalam kurun waktu itu pula, aku mulai memahami kenapa masjid memanggil warga dengan pengeras suara setiap saat. Aku mulai nyaman dan merasa kehilangan jika melewatkan waktu salat wajib ke masjid. Aku pun mulai nyaman pula berinteraksi dengan tetangga yang rajin ke masjid. Ketika aku mulai ke masjidlah, aku baru menyadari tetangga-tetanggaku sangat baik, mereka seringkali memberi tumpangan ketika berpapasan denganku yang biasa berjalan kaki ke masjid. Semua orang di sini merangkul siapapun yang berkunjung ke sini, tak peduli bagaimana latar belakangnya. Begitu hangatnya rumah Tuhan ini.
Rutinitas rohani ini senantiasa mengiringi aktivitas duniawiku sehari-hari, hingga tiba-tiba sebuah bencana kemanusiaan yang diakibatkan oleh sebuah wabah penyakit yang langka menimpa kota ini. Wabah ini, yang dinamai COVID-19, mengakibatkan ribuan warga di negeri ini tewas dalam waktu singkat, dan sebagian lainnya pada saat itu harus menjaga jarak seketat mungkin dengan orang-orang, demi menghindari penyebaran lebih parah. Di sisi lain, badan harus fit dan nutrisi cukup demi menghindari penyakit menggerogoti sistem imun tubuh. Ekonomi kerakyatan mulai goyah. Bencana ini juga menjadi sebuah seleksi alam yang kejam; hanya orang dengan kemampuan finansial menengah ke ataslah yang dapat bertahan. Sisanya yang tak mampu meninggalkan pekerjaan untuk bertahan hidup, pada akhirnya akan tersisih. Bencana ini sudah genap berusia sebulan, hingga dengan berat hari pemerintah kota menyampaikan peraturan: kegiatan berkumpul dalam bentuk apapun, termasuk untuk kegiatan keagamaan seperti salat berjamaah ditiadakan, sesuatu yang sangat memukul muslim pada umumnya. Termasuk aku. Namun mau tak mau peraturan itu harus dijalankan.
Sabtu, 14 Mei 2020
Suatu hari aku sedang berlari pagi di sekitaran rumah yang sepi, demi menghindari berpapasan dengan orang. Kebetulan jalur lariku melewati masjid itu. Setelah target lima kilometer beres, aku berjalan santai lalu melewati masjid itu, memandangi kubah putih yang mulai pudar dimakan usia, serta cat yang mengelupas. Sudah genap sebulan semenjak peraturan itu keluar, muazin yang biasa mengumandangkan azan absen dari tugasnya. Begitupun dengan marbot yang biasa menyiapkan segala kebutuhan untuk ibadah jamaah. Orang-orang paling mulia di kota ini, di mataku. Wajah-wajah pelayan Tuhan dan warga yang ingin bersimpuh pada Tuhan, selalu memancarkan aura yang khas. Dalam harap sunyi, aku saat itu berharap bertemu kedua orang itu. Lalu aku mencoba menggeser pagar yang sudah tertutup lama itu, dan ternyata bisa dibuka. Aku melangkahkan kaki ke dalam, lalu melepas ikatan tali sepatu di luar tulisan batas suci. Sebuah langkah kaki dari belakang memecah keheningan saat itu. Lalu dia memanggil ‘Dek! Azan Dhuhur masih lama dek!’ Senyumku membucah ketika aku menoleh ke arahnya. Dia adalah marbot yang saya kenal ketika saya pertama kali datang ke masjid ini, karena dia yang menunjukkan arah di mana tempat wudu ketika melihat saya celingak celinguk kebingungan di sini. Lalu aku menanyakan kabarnya seperti biasa, dan dia menjawab bahwa dia tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, karena dia tinggal di sebuah kamar sederhana persis di pojok utara masjid. Setelah itu tentunya aku menanyakan kabar orang satunya lagi, yaitu sang muazin.
Dengan nada muram dia menjawab, bahwa sang muazin telat wafat karena terkena dampak wabah ini minggu lalu. Sebagai satu-satunya orang yang diperbolehkan berada di masjid selain muazin, dia bertanggungjawab untuk menginfokan siapa-siapa saja yang menjadi korban dari tragedi ini. Namun dia tak sanggup mengumumkannya di depan mik pengeras suara itu. Hingga akhirnya hanya segelintir orang di komplekku yang tahu, dan membumikan jenazahnya di pinggir kota. Matanya berlinang, namun mencoba untuk tetap tegar dengan berkata bahwa ini semua ujian Tuhan, kita tetap harus sabar dan kuat. Lalu dia berpesan kepadaku untuk tetap rajin ibadah walau hanya di rumah saja, dan senantiasa merapalkan doa-doa mohon ampun kepada Tuhan. Aku hanya mengangguk dalam diam, lalu buru-buru berpamitan kepada beliau.
Aku pun kembali ke rumah, dan kembali menjalankan aktivitas dalam masa isolasi mandiri yang tak tahu bakal sampai kapan. Di jam-jam tertentu, aku rindu alunan azan bapak itu. Teduh mengalun, benar-benar meresap dalam relung. Pada akhirnya aku baru bisa menerima sepenuhnya, bahwa alarm yang biasa membangunkanku di jam-jam salat fardu itu sudah tidak ada lagi. Kini dia sudah berganti menjadi kumpulan nada-nada sumbang sang marbot masjid, menginfokan berita-berita terkini korban yang berjatuhan akibat tragedi kemanusiaan ini.